Asal Usul Kesenian BRAI

Asal Usul Kesenian BRAI
Kesenian BRAI 
Nglayab Cirebon 

Seni tradisional Brai merupakan satu-satunya kesenian khas Cirebon yang tidak ada di daerah lain. Kesenian tersebut merupakan salah satu aset kekayaan budaya daerah Cirebon yang timbul dan berkembang sejak zaman Wali Sanga di pulau Jawa. Kesenian tersebut sampai sekarang masih dipertahankan oleh para pecintanya. Namun, pencinta seni ini terbatas dan salah dan salah satunya bisa ditemui di desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik Kab. CIREBON.
Kesenian Brai yang dahulu diciptakan para wali di pulau Jawa bertujuan memberikan pendidikan dan mengajak masyarakat agar mengenal dan mengerjakan syariat-syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Kesenian tradisional Brai ini akan punah dan sirna apabila sudah tidak ada yang peduli dengan keberadaannya. Apalagi jika masih ada orang yang beranggapan bahwa Brai hanya sebuah kesenian Kejawen yang tidak mempunyai maksud dan tujuan suci dan mulia. Untungnya, ada sekelompok organisasi penerus yang mau melestarikan keberadaan seni Brai, salah satunya kelompok seni tradisional Brai Nurul Iman di desa Bayalangu Kidul Kecamatan Gegesik.
Menurut ketua kesenian Brai Nurul Iman, Darkilah, riwayat kesenian Brai bermula dari tahun 1420 M, ketika datang rombongan ulama yang mengajarkan Islam dari Baghdad di bawah pimpinan Syekh Datul Kafi atau Syekh Idafi atau Datuk Kafi. Syekh Datul Kafi diizinkan menetap di kampung Pasambangan, dekat Muara Jati, yang selanjutnya mendirikan pesantren setelah Ki Jumajan Jati masuk Islam.
Pada suatu hari datang Ki Ageng Sumerang, seorang bangsawan keraton pajajaran dengan istrinya, Nyi Mas Madungsari, ke alam bumi Segandu. Mereka meninggalkan Pajajaran karena negerinya diserang musuh, dan mereka ingin mencari tempat tinggal yang baru. Oleh Nyi Mas Ratu Brai, kedua suami istri itu disarankan agar menetap di pondoknya.
Ki Ageng Sumerang dan istrinya dengan senang hati menerima tawaran Nyi Mas Ratu Brai untuk tinggal di Alas Bumi Segandu. Beberapa tahun kemudian Nyi Mas Madungsari melahirkan seorang putri cantik yang diberi nama Sekar Lelangu.
Berbarengan dengan menanjak dewasa usia Nyi Mas Sekar Lelangu di Alam Bumi Segandu, di Pedukuhan Mbah Kuwu Cerbon kedatangan Raden Wira Serabaya, putra raja negeri Tanung Saguruh, yang bertujuan meminta petunjuk Mbah Kuwu, untuk dapat mengalahkan Prabu Banjarpati. Mbah Kuwu Cerbon bersedia memberikan petunjuk asalkan Raden Wira Serabaya mau memeluk agama Islam.
Pada suatu hari dari Puncak Gunung Jati yang tidak jauh dari tempatnya berada, ia mendengar bunyi-bunyian dengan diiringi lagu yang syairnya berisi mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa. Mendengar suara merdu yang diiringi suara bnuyi-bnuyian yang menyentuh kalbu, putra Raden Wira Serabaya menuju Puncak Gunung Jati.
Di Puncak Gunung Jati, Putra Raja Tanjung Saguruh melihat empat orang, yaitu dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Mereka dengan khusuknya menabuh trebang serta melantunkan syair merdu dan menyentuh hati. Keempat orang itu adalah Syekh Datul Kafi, Ki Wadas Tameng, Nyi Kali Sepuh dan Nyai Mas Ratu Brai. Setelah keempat orang itu selesai dan memuji kebesaran Tuhan, Putra Raja Tanjung Saguruh memberanikan diri mendekati, ia menyampaikan maksud dan tujuannya sampai ke tempat itu. Setelah itu diterimalah Raden Wira Serabaya menjadi murid Syekh Datul Kafi, bahkan ilmu dari yang lainnya.
Raden Wira Serabaya pergi menuju Cerbon untuk berguru memperdalam Islam kepada Mbah Kuwu Cerbon. Ia diajari beberapa ilmu, baik ilmu agama, pertanian, ilmu hidup dan kehidupan, juga ilmu kanuragan, sehingga ia menjadi seorang pemuda yang dapat mengatasi berbagai permasalahan dengan bijaksana.




Saaat perjalanan Raden Wira Serabaya yang meninggalkan Alas Bumi Segandu, ia bertemu Nyi Mas Ratu Sekar Lelangu, putri Ki Ageng Sumarang, kemudian mereka saling menyayangi.
Beberapa tahun kemudian Alas Bumi Segandu yang dibabad setiap waktu akhirnya akan dijadikan sebuah Padukuhan. Kemudian Ki Ageng Sumerang beserta Raden Wira Serabaya menghadap Mbah Kuwu Cerbon menceritakan perkembangan yang ada di Alas Bumi Segandu. Kemudian meminta kepada Mbah Kuwu Cerbon agar memberi nama padukuhannya, dan disampaikan pula bahwa hal ini sudah mendapat izin dari Syekh Datul Kafi dan Nyi Mas Ratu Brai.
Akhirnya oleh Mbah Kuwu Cerbon, Padukuhan ini diberi nama Bayalangu. Nama ini diambil dari nama tokoh pendirinya yaitu Raden Wira Serabaya dan Nyai Mas Ratu Sekar Lelangu. Sebagai Gegeden Padukuhan, diangkatlah Raden Wira Serabaya dengan gelar Ki Gede Bayalangu.
Pada saat Raden Wira Serabaya diangkat menjadi Gegeden Padukuhan Bayalangu, datang Nyai Mas Ratu Brai dari Muara Jati dengan membawa peralatan seni trebang. Trebang ini adalah pemberian Syekh Datul Kafi di Gunung Jati untuk Ki Gede Bayalangu. Trebang ini agar dimanfaatkan untuk menghibur rakyat sambil menyebarkan syiar Islam.
Atas bimbingan Nyai Mas Ratu Brai, Ki Gede Bayalangu beserta istrinya dan pengikut-pengikutnya dapat menambah trebang dengan iringan alunan syair puja dan puji terhadap Yang Maha Kuasa. Akhirnya seni trebang ini lebih dikenal dengan sebutan Brai. – Ibnu/MD.
Kesenian ini menjadi media dzikir untuk mengasah hati dan jiwa masyarakat Pantura agar lebih lembut. Seni Brai. Sejenis musik untuk membangkitkan gairah kecintaan atau birahi kepada Allah Yang Maha Rahman dan Rahiem. Tembang-tembang cinta dilantunkan mulai dari nada yang pelan syahdu sampai ke nada menghentak penuh semangat. Diiring tabuhan Trebang dan tepukan tangan yang ritmis melahirkan irama musik yang dinamis dan mistis, melarutkan hati dalam dzikir melalui pelafalan kalimatut thoyyibah sebagai syairnya.
Di sinilah, di Astana Gunung Jati, kesenian yang dirintis oleh Nyai Mas Ratu Brai, isteri Syekh Dzatul Kahfi dan kedua keponakannya. Dua kali setahun masih bisa kita nikmati untuk mengenang betapa cinta para Auliya terhadap Allah dan sesama, hingga fikiran, ucapan dan tindakannya mutlak diperuntukkan demi tumbuh berkembangnya nilai-nilai ajaran agama Allah di bumi mayapada ini. Sekali saat malam Syawalan dilantunkan oleh masyarakat Danalaya, dan sekali oleh kelompok masyarakat Bayalangu saat malam Sedekah Bumi Nadran. Paseban Soko adalah tempat yang biasa digunakan untuk pagelaran Seni Brai, karenanya Paseban Soko ini biasa juga disebut Paseban Brai.



Sumber https://www.facebook.com/130769212458/videos/1171909504315/
4 Komentar untuk "Asal Usul Kesenian BRAI"

Kesenian yang patut untuk dilestarikan agar anak cucu kita nanti juga tahu

justru itu pak anak mudah jarang untuk melestarikan kesenian ini uy. mirissss BGT

sumber tulisan perlu dicantumin

maaf mas.. saya teertarik meneliti seni brai ini.. saya bisa minta nomer hp mas admin dr website ini? maturkesuwun.

Back To Top